Penyiksaan Para Jenderal Oleh Pki; Dibantah Oleh Dokter Visum

Penyiksaan Para Jenderal oleh PKI; Dibantah oleh Dokter Visum - "Dugaan terhadap penyiksaan yang menimpa jendral indonesia, semuanya di bantah oleh dokter yang memfisum akan keadaan jendral.." Orang sering menjadi terkesima ketika membongkar-bongkar gudang yang bertimbun dan berdebu. Sementara iseng membolak-balik ratusan halaman fotokopi rekaman stenografis dari sidang pengadilan Letkol AURI Atmodjo di depan Mahmilub, saya temukan dokumen-dokumen yang saya terjemahkan di bawah ini, yang aslinya merupakan lampiran-lampiran pada berkas sidang pengadilan itu.

Dokumen itu yaitu laporan yang disusun oleh sebuah tim terdiri dari lima orang hebat kedokteran forensik, yang telah menyidik mayat-mayat enam orang jendral (Yani, Suprapto, Parman, Sutojo, Harjono, dan Pandjaitan), dan seorang letnan muda (Tendean) yang terbunuh pada pagi-pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Laporan mereka yang lugas merupakan lukisan paling obyektif dan tepat yang pernah kita miliki, ihwal bagaimana tujuh orang itu mati. Mengingat kontroversi yang telah usang ihwal problem ini, dan berita-berita yang disajikan oleh suratkabar dan majalah umum berlain-lainan, maka saya memandang perlu menerjemahkan dokumen-dokumen tersebut sepenuhnya untuk kepentingan kalangan ilmiah. Sebelum membahas lebih jauh mengenai hal ini jangan lupa baca juga:

1) Perlawanan rakyat indonesia terhadap jepang
Bagian atas setiap visum et repertum (otopsi) memperlihatkan bahwa tim tersebut bekerja pada hari Senin tanggal 4 Oktober, atas perintah Mayjen Suharto selaku Komandan KOSTRAD ketika itu, kepada kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Tim terdiri dari dua orang dokter tentara (termasuk Brigjen Roebono Kertopati yang populer itu), dan tiga orang sipil hebat kedokteran forensik pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Di antara ketiga orang ini yang paling senior ialah Dr. Sutomo Tjokronegoro, ketika itu hebat paling terkemuka dalam kedokteran forensik di Indonesia. Tim bekerja sama selama 8 jam, yaitu dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober hingga 12.30 lewat tengah malam tanggal 5 Oktober, bertempat di Kamar Bedah RSPAD. Jelas mereka harus bekerja cepat, oleh lantaran dari berita-berita pers kita ketahui mayat-mayat itu gres sanggup diangkat dari lubang sumur di Lubang Buaya (di mana para pembunuh telah melemparkannya) menjelang siang tanggal 4 Oktober, lebih 75 jam setelah pembunuhan terjadi. Dalam jangka waktu itu, dalam iklim tropis sanggup diperkirakan mayat sudah sangat membusuk. Dan sehabis hari siang, Selasa tanggal 5 Oktober, mayat-mayat itu dimakamkan dengan upacara militer di Taman Pahlawan Kalibata. Satu hal yang niscaya patut diperhatikan. Mengingat bahwa otopsi itu dilakukan atas perintah eksklusif Mayjen Suharto, maka kiranya tidak akan mungkin kalau laporan para dokter tersebut tidak segera disampaikan kepadanya, segera setelah kiprah dilaksanakan.
  1. Tujuh buah laporan itu masing-masing disusun berdasarkan bentuk yang sama:
  2. Pernyataan adanya perintah Mayjen Suharto kepada lima orang hebat itu;
  3. Identifikasi atas mayat;
  4. Deskripsi tubuh, termasuk pakaian atau hiasan-hiasan badan;
  5. Uraian rinci ihwal luka-luka;
  6. Kesimpulan ihwal waktu dan penyebab kematian;
  7. Pernyataan di bawah sumpah dari kelima hebat itu,
  8. bahwa investigasi telah dilaksanakan sepenuh-penuhnya dan sebagaimana mestinya.

Karena citra umum ihwal matinya tujuh tokok itu, kita, sebagaimana halnya masyarakat pembaca di Indonesia tahun 1965, harus banyak bersandar pada apa yang diberitakan oleh dua suratkabar tentara, yaitu Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, serta dinas informasi ABRI yang memasok suratkabar-suratkabar tersebut. Walaupun ada beberapa suratkabar non-militer yang tetap terbit, namun pers kiri telah ditindas pada petang hari tanggal 1 Oktober, sedangkan radio dan televisi yang dikuasai negara, dan telah ada di tangan militer sepenuhnya menjelang 1 Oktober, tidak mengudara. Karena itu perlu diperbandingkan berita-berita yang disajikan oleh suratkabar-suratkabar tentara tersebut, dengan ini laporan dari para hebat kedokteran yang ditunjuk militer yang selesai tersusun pada hari Selasa tanggal 5 Oktober, yang sanggup kita simpulkan dari dokumen-dokumen lampiran itu.

Mengingat bekerjsama dua suratkabar tersebut yaitu harian-harian pagi, sehingga edisi 5 Oktober mereka mungkin sudah "ditidurkan" sementara para dokter masih menuntaskan pekerjaannya, maka tidak absurd bila pemberitaan mereka ihwal hari itu barangkali tergesa-gesa, tanpa memanfaatkan informasi yang panjang lebar itu. Angkatan Bersenjata memuat beberapa buah foto kabur mayat-mayat yang telah membusuk, dan menggambarkan pembunuhan tersebut sebagai "perbuatan biadab berupa penganiayaan yang dilakukan di luar batas perikemanusiaan". Berita Yudha yang selalu lebih garang, menyampaikan bahwa mayat-mayat itu penuh dengan bekas-bekas penyiksaan. "Bekas-bekas luka di sekujur tubuh akhir siksaan sebelum ditembak masih membalut tubuh-tubuh pendekar kita." Mayjen Suharto sendiri dikutip menyatakan, "jelaslah bagi kita yang menyaksikan dengan mata kepala (jenazah-jenazah itu), betapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan 'Gerakan 30 September'". Suratkabar itu meneruskan dengan menggambarkan saat-saat terakhir kehidupan Jendral Yani, menyampaikan bahwa sehabis ditembak rubuh di rumahnya, ia dilemparkan hidup-hidup ke dalam sebuah truk dan terus menerus disiksa hingga "penyiksaan terakhirnya di Lubang Buaya." Bukti-bukti ihwal penyiksaan ini ditunjukkan dengan adanya luka-luka pada leher dan mukanya, dan kenyataan bahwa "anggota-anggota tubuhnya tidak tepat lagi". Apa yang dimaksud oleh kata-kata yang agak kabur itu menjadi lebih terang pada hari- hari berikut. Pada hari Kamis tanggal 7 Oktober, Angkatan Bersenjata menyatakan bahwa "matanya (Yani) dicungkil". Berita ini dikuatkan dua hari kemudian oleh Berita Yudha dengan menambahkan bahwa muka mayat itu ditemukan terbungkus dalam sehelai kain hitam.

Pada tanggal 7 Oktober itu juga Angkatan Bersenjata melukiskan lebih lanjut, ihwal bagaimana Jendral Harjono dan Jendral Pandjaitan tewas oleh berondongan tembakan senjata api di rumah masing-masing, kemudian mayat mereka dilempar ke dalam sebuah truk yang menghilang dalam kegelapan malam dengan "deru mesinnya yang menyerupai harimau haus darah". Sementara itu Berita Yudha memberitakan ihwal bekas-bekas siksaan pada kedua tangan Harjono.

Pada tanggal 9 Oktober Berita Yudha memberitakan, bahwa meskipun muka dan kepala Jendral Suprapto telah dihancurkan oleh "penteror-penteror biadab", namun ciri-cirinya masih sanggup dikenali. Pada Letnan Tendean terdapat luka-luka pisau pada dada kiri dan perut, lehernya digorok, dan kedua bola matanya "dicungkil". Harian ini pada hari berikutnya mengutip saksi mata pengangkat mayat bulan Oktober itu, yang menyampaikan bahwa di antara kurban beberapa ada yang matanya keluar, dan beberapa lainnya "ada yang dipotong kelaminnya dan banyak hal-hal lain yang sama sekali mengerikan dan di luar perikemanusiaan." Pada tanggal 11 Oktober Angkatan Bersenjata menulis panjang lebar ihwal matinya Tendean, dengan menyatakan bahwa ia mengalami siksaan luar biasa di Lubang Buaya, sehabis diserahkan kepada para anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Ia dijadikan benda "permainan jahat" perempuan- wanita ini, dipakai sebagai "bulan-bulanan sasaran latihan menembak sukwati Gerwani."

Begitu suratkabar-suratkabar tentara memulai, maka yang lain pun segera serta merta mengikuti. Misalnya Api Pantjasila, orang partai IPKI yang bernaung di bawah militer, pada tanggal 20 Oktober memberitakan, bahwa "alat pencungkil" yang dipakai untuk jendral-jendral itu telah ditemukan oleh pemuda-pemuda anti komunis, ketika mereka menyerbu gedung-gedung Partai Komunis, di desa Harupanggang di luar kota Garut. Walaupun tanpa diterangkan, mengapa partai tersebut memandang desa itu cocok untuk menyimpannya. Pada tanggal 25 Oktober suratkabar ini juga memuat ratifikasi seseorang berjulukan Djamin, anggota organisasi cowok Partai Komunis, Pemuda Rakyat, yang menyampaikan telah menyaksikan bagaimana Jendral Suprapto telah disiksa "di luar batas kesusilaan" oleh anggota-anggota Gerwani. Pengakuan-pengakuan serupa itu dimuat berturut-turut, dan memuncak pada dongeng menarik ihwal Nyonya Djamilah, disiarkan pada tanggal 6 Oktober oleh Dinas Penerangan ABRI kepada seluruh kalangan pers. Nyonya Djamilah diceritakan sebagai hamil tiga bulan, pimpinan Gerwani dari Pacitan berumur lima belas tahun, mengaku bahwa ia dan kawan-kawannya di Lubang Buaya telah mendapatkan pembagian pisau kecil serta silet dari anggota-anggota pasukan Gerakan 30 September. Lalu mereka, yang seluruhnya berjumlah seratus orang itu, mengikuti perintah orang- orang itu pula, mulai memotong dan menyayat-sayat kemaluan jendral-jendral yang telah mereka tangkap itu. ("Dibagi-bagikan pisau kecil dan pisau silet… menusuk-nusuk pisau pada kemaluan orang-orang itu. Api Pantjasila, 6 November 1965). Malahan tidak berhenti di situ saja. Antara yang telah dikuasai militer itu, pada tanggal 30 November melukiskan bagaimana orang-orang Gerwani itu dengan mudahnya telah menyerahkan tubuh mereka kepada para personel AURI yang ikut serta dalam Gerakan 30 September. Sementara itu pada tanggal 13 Desember Angkatan Bersenjata melukiskan mereka bertelanjang menarikan "Tarian Bunga Harum" di bawah pimpinan Ketua Partai Komunis Dipa Nusantara Aidit, sebelum terjun dalam pesta pora massal bersama para anggota Pemuda Rakyat.

Di dalam cerita-cerita yang memenuhi suratkabar selama bulan- bulan Oktober, November dan Desember ini — sementara itu pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang yang berhubungan dengan Partai Komunis terus berjalan — terkandung dua hal yang sangat menarik diperhatikan. Pertama, ditiup-tiupkan bahwa tujuh kurban itu mengalami siksaan yang mengerikan — khususnya dicungkil mata dan dipotong kemaluan mereka; kedua, ditonjolkan bahwa pelaku-pelaku kejahatan yaitu orang-orang sipil dari organisasi yang bekerjasama dengan komunis.

Apakah yang diberitakan kepada kita oleh laporan para hebat forensik pada tanggal 5 Oktober itu? Pertama, dan terutama, bahwa tidak ada satu biji mata pun dari para kurban yang telah dicungkil, dan bahwa semua kemaluan mereka pun masih utuh. Kepada kita bahkan diberitakan bahwa empat berkhitan dan tiga tidak berkhitan.

Kecuali itu, barangkali perlu kurban-kurban itu dibagi ke dalam dua golongan: mereka yang dengan sebagian besar bukti non-forensik memperlihatkan telah dibunuh dengan ditembak selagi masih di rumah oleh para penculik mereka, yaitu Jendral Yani, Jendral Pandjaitan, dan Jendral Harjono; dan mereka yang dibunuh sehabis dibawa ke Lubang Buaya, yaitu Jendral Parman, Jendral Suprapto, dan Jendral Sutojo, serta Letnan Tendean.

Golongan I. Berita paling lengkap ihwal kematian mereka terbit jauh sehabis kejadian terjadi: ihwal Yani dalam Berita Yudha tanggal 5 Desember; Pandjaitan dalam Kompas tanggal 25 Oktober; Berita Yudha Minggu tanggal 21 November, dan Berita Yudha tanggal 13 Desember; dan Harjono dalam Berita Yudha Minggu tanggal 28 November. Semua pemberitaan menunjukkan, bahwa jendral-jendral itu telah dibunuh dengan mendadak dan seketika di rumah dengan berondongan tembakan yang dilakukan oleh anggota-anggota Resimen Kawal Cakrabirawa, di bawah pimpinan operasi Letnan Satu Doel Arief. Gambaran demikian hanya sebagian saja dibenarkan oleh laporan forensil. Para hebat forensik itu menyatakan bahwa luka-luka pada tubuh Yani sajalah yang merupakan sepuluh luka tembuk masuk dan tiga tembus. Pandjaitan mengalami tiga luka tembak pada kepala, serta luka robek kecil di tangan. Pada luka-luka yang dialami Harjono timbul tanda tanya, lantaran tidak disebut-sebut sebagai akhir tembakan. Penyebab kematiannya rupanya yaitu torehan panjang dan dalam pada serpihan perut, luka yang lebih mungkin disebabkan oleh bayonet ketimbang pisau lipat atau silet. Sebuah luka serupa yang tak mematikan terdapat pada punggung korban. Cedera lain satu-satunya digambarkan "pada tangan dan pergelangan tangan kiri, luka-luka disebabkan oleh barang tumpul." Tak ada cara lain yang lebih tepat untuk menafsirkan luka-luka ini kecuali harus mengatakan, bahwa luka-luka tesebut mustahil lantaran siksaan — jarang penyiksa menentukan pergelangan kiri dalam melaksanakan pekerjaan mereka — dan luka itu barangkali lantaran mayat itu dilempar ke dalam sumur di Lubang Buaya yang 36 kaki dalamnya.

Golongan II. Cerita lengkap ihwal matinya korban-korban ini terdapat dalam suratkabar-suratkabar berikut: Parman, Berita Yudha, 17 Oktober dan juga Berita Yudha serta Angkatan Bersenjata tanggal 2 Desember; Soeprapto, Berita Yudha Minggu tanggal 5 Desember; Sutojo, Berita Yudha Minggu tanggal 21 November. Terhadap empat orang inilah berita-berita ihwal siksaan biadab dan seksual paling banyak diberikan. Apa yang diungkapkan oleh laporan forensik yaitu sebagai berikut:

S. Parman mengalami lima luka tembak, termasuk dua yang mematikan pada kepala; dan, di samping itu, "robek dan patah tulang pada kepala, rahang, dan kaki kiri bawah, semuanya sebagai akhir benda tumpul dan keras — popor bedil atau dinding dan lantai sumur — tetapi terang bukan luka-luka "siksaan", juga tidak sebagai akhir silet atau pisau lipat.

Soeprapto mati oleh lantaran sebelas luka tembak pada aneka macam serpihan tubuhnya. Luka-luka lain berupa enam luka robek dan patah tulang sebagai akhir dari benda tumpul pada kepala dan muka; satu disebabkan oleh benda keras tumpul pada betis kanan; luka- luka dan patah tulang itu "akibat benda tumpul" yang sangat keras pada serpihan pinggul dan pada paha kanan atas"; dan tiga sayatan yang, melihat pada ukuran dan kedalamannya, mungkin disebabkan oleh bayonet. Sekali lagi "benda tumpul" mempertunjukkan terjadinya benturan dengan benda-benda keras yang besar dan berbentuk tak menentu (popor bedil dan batu-batu sumur), dan bukannya silet atau pisau,

Sutojo mengalami tiga luka tembak (termasuk satu yang fatal pada kepala), sedang "tangan kanan dan tempurung kepala retak sebagai akhir benda tumpul keras". Sekali lagi kombinasi ganjil antara tangan kanan, tulang tengkorak, dan benda pejal berat yang memperlihatkan kesan popor bedil atau batu-batu sumur.

Tendean mati akhir empat luka tembak. Kecuali itu para hebat tersebut menemukan luka gores pada dahi dan tangan kiri, demikian juga "tiga luka akhir stress berat pejal pada kepala."

Tak terdapat sepatah kata pun di laporan-laporan ini ihwal adanya siksaan yang tak tersangkal, dan tak ada juga bekas silet atau pisau kecil apapun. Bukan saja lantaran hampir semua luka-luka bukan tembak itu dilukiskan sebagai akhir dari benda pejal dan keras, tetapi lantaran pembagiannya secara jasmaniah pun "pergelan gan kaki, tulang kering, pergelangan tangan, paha, pelipis dan lain-lain — pada umumnya tampak sembarangan. Adalah sangat menarik, bahwa sasaran para penyiksa yang lazim yaitu pelir, dubur, mata, kuku, telinga, dan pengecap tidak disebut-sebut. Maka dengan cukup meyakinkan sanggup dikatakan bahwa enam orang dari korban-korban itu mati oleh tembakan senjata api (perihal Harjono yang mati di dalam rumahnya tetap membingungkan); dan kalau tubuh mereka mengalami tindak kekerasan lain yaitu akhir pemukulan dengan gagang bedil yang mematahkan peluru-peluru mematikan itu, atau cedera yang mungkin diakibatkan lantaran jatuh dari ketinggian 36 kaki — yaitu kira-kira tiga tingkat lantai — ke dalam sumur yang berdinding batu.

Perlu juga dikemukakan, bahwa dalam pidatonya tanggal 12 Desember 1965 kepada Kantor Berita Indonesia Antara, Presiden Soekarno mengutuk para wartawan yang telah membesar-besarkan pernyataan mereka, dan menegaskan bahwa dokter-dokter yang telah menyidik mayat para kurban menyatakan, ihwal tidak adanya perusakan mengerikan pada mata dan alat kelamin sepeti telah diberitakan dalam pers (Lihat Suara Islam, 13 Desember 1965, dan FBIS, 13 Desember 1965). Ditulis Oleh Ben Andersonyang diatas yaitu versi panjangnya di bawah ini,sedikit lebih singkat..tapi dengan narasumber yang berbeda yaitu dr liem joey thay atau dr berakal budianto..

Dikenal dengan nama dr. Arif Budianto, tak banyak yang menyadari Lim Joey Thay yaitu tokoh penting. Sangat penting, bahkan. Dia yaitu satu dari segelintir orang yang berada di titik paling menentukan dalam sejarah negara ini setelah Proklamasi 1945.

Pagi hari 4 Oktober 1965 pasukan yang dipimpin Pangkostrad Mayjen Soeharto menemukan tujuh mayat perwira Angkatan Darat yang diculik dan dibunuh Gerakan 30 September tiga hari sebelumnya. Ketujuh perwira naas itu yaitu Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani, Deputi II Menpangad Mayjen R. Soeprapto, Deputi III Menpangad Mayjen MT. Harjono, Deputi IV Menpangad Brigjen DI. Panjaitan, Oditur Jenderal/Inspektur Kehakiman AD Brigjen Soetojo Siswomihardjo, Asisten I Menpangad Mayjen S. Parman, dan Letnan Satu P. Tendean (Ajudan Menko Hankam/KASAB Jenderal AH Nasution).

Mayat enam jenderal dan seorang perwira muda Angkatan Darat ini ditemukan di dalam sebuah sumur bau tanah sekitar 3,5 kilometer di luar Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah

Lim Joey Thay yang ketika itu yaitu lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) merupakan satu dari lima hebat forensik yang, berdasarkan perintah Soeharto, menyidik kondisi ketujuh mayat tersebut sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, siang hari 5 Oktober.

Empat dokter lain di dalam tim ini yaitu dr. Brigjen Roebiono Kertopati, perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat; dr. Kolonel Frans Pattiasina, perwira kesehatan RSP Angkatan Darat; dr. Sutomo Tjokronegoro, hebat Ilmu Urai Sakit Dalam dan hebat Kedokteran Kehakiman, juga profesor di FK-UI; serta dr. Liau Yan Siang, rekan Lim Joey Thay di Ilmu Kedokteran Kehakiman FK-UI.

Kini dari lima anggota tim otopsi itu, tinggal Lim Joey Thay dan Liu Yang Siang yang masih hidup. Lim Joey Thay sekarang sakit-sakitan, sementara semenjak beberapa tahun lalu, Liu Yan Siang menetap di Amerika Serikat dan tidak diketahu niscaya kabar beritanya.

Berpacu dengan waktu dan proses pembusukan, mereka berlima bekerja keras selama delapan jam, dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober, hingga pukul 12.30 tengah malam 5 Oktober, di kamar mayat RSP Angkatan Darat.

Pagi di bulan Juni tahun kemudian saya dihubungi Dandhy Dwi Laksono, mitra jurnalis yang ketika itu masih bekerja sebagai kordinator liputan sebuah stasiun televisi.

"Dr. Arif jatuh. Sekarang dirawat di St. Carolus. Gua mau ke sana. Lu nyusul ya," begitu pesan pendeknya.

Satu jam kemudian kami bertemu di kantin RS St. Carolus, Salemba, Jakarta Pusat. Setelah sarapan dan membeli buah-buahan di kantin untuk dr. Lim Joey Thay, kami berjalan menuju kompleks rawat inap Ignatius-II daerah ia dirawat.

Di teras Ignatius-II, Lim Joey Thay duduk sendirian menghadap taman kecil di depannya. Istri dan beberapa kerabatnya yang berada di serpihan dalam paviliun itu menyambut kami.

Informasi yang kami terima menyebutkan bahwa dr. Lim Joey Thay terjatuh lantaran serangan struk. Namun Ny. Arif menjelaskan bahwa suaminya terjatuh ketika hendak naik ke bangku roda di rumahnya. Mungkin lantaran terlalu lelah. Keadaannya tidak mengkhawatirkan, kata Ny. Arif. Dibandingkan tahun sebelumnya, kondisi dr. Lim Joey Thay lebih baik, sambungnya.

Dandhy menemukan kembali visum et repertum ketujuh Pahlawan Revolusi dan kisah ihwal dr. Lim Joey Thay ketika menyiapkan sebuah kegiatan liputan khusus untuk menyambut peringatan kejadian Gerakan 30 September yang oleh Bung Karno dianggap sebagai resultan dari konflik internal Angkatan Darat, petualangan pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) dan operasi kaum nekolim di tanah air. Tim liputan yang dipimpin Dandhy melaksanakan riset ekstensif mengenai penyiksaan yang dialami ketujuh Pahlawan Revolusi itu. Dalam liputan khusus itu, wawancara Dandhy dengan dr. Lim Joey Thay juga disertakan.

Saya tak menyaksikan liputan khusus yang diputar Oktober 2007 itu. Tetapi dari e-mail yang disampaikan Dandhy pada sebuah milis ketika ia mengumumkan penayangan kegiatan tersebut saya menangkap penegasan sekali lagi dr. Lim Joey Thay bahwa dongeng ihwal alat kelamin Pahlawan Revolusi yang disilet dan juga dongeng ihwal mata mereka yang dicungkil yaitu bohong belaka. Sayangnya, kebohongan ini sudah kadung dianggap sebagai fakta sejarah dan diajarkan di sekolah-sekolah.

Tulis Dandhy dalam e-mailnya, "Hasil wawancara sebenarnya hanya mengonfirmasi apa yang tertera dalam dokumen visum et repertum, bahwa enam Pahlawan Revolusi tewas akhir luka tembak, dan satu orang (Mayjen M.T. Haryono) akhir luka tusuk. Ada sejumlah luka lebam yang diragukan apakah akhir pemukulan atau akhir mayat dijatuhkan ke dalam sumur sedalam 12 meter."

"Karena problem komunikasi, dalam wawancara, Prof Arief [Lim Joey Thay] didampingi dr. Djaja Admadja, bekas muridnya yang sekarang yaitu dokter forensik di RSCM (ahli DNA). dr. Djaja yang lebih banyak mengurai detil, sementara Prof Arief sesekali menimpali," demikian tulis Dandhy.

Visum et repertum mayat Pahlawan Revolusi ini terang bukan barang baru. Benedict Anderson dari Cornell University telah menyalin ulang visum et repertum itu dalam artikelnya, How Did the Generals Die? di jurnal Indonesia edisi April 1987. Artikel Ben Anderson ini menciptakan pemerintahan Soeharto murka besar, dan semenjak itu Ben Anderson diharamkan menginjakkan kaki di Indonesia.

Ketujuh pendekar revolusi itu terang mati dibunuh. Dan pembunuhan dengan cara apapun terang di luar nilai-nilai kemanusiaan. Namun dari hasil otopsi yang dilakukan dr. Lim Joey Thay dan teman-temannya sama sekali tidak menemukan gejala rusaknya mayat menyerupai yang dilaporkan media massa yang dikuasai Angkatan Darat, yaitu Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, dan beberapa media cetak lain yang diperbolehkan beredar selagi mengikuti hukum main dan kemauan pihak militer. Sumber informasi lain di masa itu yaitu RRI, TVRI dan Kantor Berita Antara yang menyerupai dua koran sebelumnya juga dikontrol militer.

Dalam artikelnya ini, sebelum menyalin ulang visum et repertum ketujuh mayat Pahlawan Revolusi untuk komunitas akademik, Ben Anderson lebih dulu mengutip beberapa pemberitaan media massa mengenai detil pembunuhan para perwira. 

Mata Jenderal Ahmad Yani dicungkil, tulis Angkatan Bersendjata edisi 6 Oktober. Berita Yudha menegaskan sekali lagi soal pencungkilan mata ini dua hari kemudian sambil menambahkan bahwa ketika ditemukan mayat para perwira Angkatan Darat terbungkus kain hitam.

Sehari kemudian, 7 Oktober, Angkatan Bersendjata mempublikasikan dongeng ihwal detail pembunuhan Brigjen Panjaitan di depan rumahnya. Setelah dihujani tembakan, mayat Brigjen Panjaitan dilemparkan ke dalam truk yang kemudian membawanya ke Lubang Buaya. Sebegitu mengerikannya kekuatan pasukan penculik Panjaitan ini, sampai-sampai deru mesin kendaraan yang mereka pakai saja menyerupai "suara harimau yang haus darah."

Sementara, walaupun wajah Suprapto dan tengkoraknya dihantam oleh "penteror2 biadab" namun ia masih sanggup dikenali, begitu tulis Berita Yudha edisi 9 Oktober. Sehari kemudian koran yang sama menurunkan informasi yang disebut bersumber dari saksi mata yang berada di lokasi pembantaian. Menurut ratifikasi saksi ini, biji mata beberapa korban dicungkil keluar, sementara kemaluan beberapa lainnya dipotong.

Edisi 11 Oktober Angkatan Bersendjata menuliskan laporan yang lebih detil ihwal pembunuhan Letnan Satu Tendean. Ajudan Jenderal Nasution ini disebutkan menjadi sasaran latihan tembak anggota Gerwani.

Cerita-cerita mengenai alat kelamin yang disayat, dipotong dan dimakan telah membangkitkan amarah di akar rumput. Ia serpihan dari pretext for mass murder, tulis John Roosa (2006). Dan ia bagai minyak tanah yang disiramkan ke api. Menyambar-nyambar. Selanjutnya, yang terjadi yaitu pembantaian besar-besaran di mana-mana terhadap anggota PKI dan/atau siapa saja yang dituduh menjadi anggota PKI dan/atau mempunyai kekerabatan dengan PKI.

Tidak ada catatan yang meyakinkan ihwal berapa jumlah rakyat yang tewas dalam pembantaian massal itu. Jumlah yang sejauh ini dianggap sebagai kebenaran berkisar antara 500 ribu hingga 1,5 juta. Dalam artikelnya tahun lalu, Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant yang ditulis khusus untuk mengenang Soeharto yang meninggal tiga bulan sebelumnya, Ben Anderson mengutip ratifikasi Jenderal Sarwo Edhie ihwal jumlah orang yang tewas dalam pembunuhan massal 1965-1966.

"On his deathbed, the by-then marginalized General Sarwo Edhie, who led the Red Berets in 1965-66, even said he had been responsible for the death of three million people.

DAFTAR PUSTAKA :
http://bpn16.wordpress.com/2010/09/12/penyiksaan-para-jenderal-oleh-pki-dibantah-oleh-dokter-visum/

Belum ada Komentar untuk "Penyiksaan Para Jenderal Oleh Pki; Dibantah Oleh Dokter Visum"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel