Sejarah Organisasi Papua Merdeka (Opm)

Sejarah Singkat Organisasi Papua Merdeka - Organisasi Papua Merdeka (OPM) yakni sebuah organisasi yang didirikan tahun 1965 dengan tujuan membantu dan melaksanakan penggulingan pemerintahan yang ketika ini berdiri di provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia, sebelumnya berjulukan Irian Jaya, memisahkan diri dari Indonesia, dan menolak pembangunan ekonomi dan modernitas. 

Organisasi ini mendapatkan dana dari pemerintah Libya pimpinan Muammar Gaddafi dan training dari grup gerilya New People's Army beraliran Maois yang ditetapkan sebagai organisasi teroris abnormal oleh Departemen Keamanan Nasional Amerika Serikat.

Organisasi ini dianggap tidak sah di Indonesia. Perjuangan meraih kemerdekaan di tingkat provinsi sanggup dituduh sebagai tindakan pengkhianatan terhadap negara.Sejak berdiri, OPM berusaha mengadakan obrolan diplomatik, mengibarkan bendera Bintang Kejora, dan melancarkan agresi militan sebagai cuilan dari konflik Papua. 

Para pendukungnya sering membawa-bawa bendera Bintang Kejora dan simbol persatuan Papua lainnya, ibarat lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua" dan lambang nasional. Lambang nasional tersebut diadopsi semenjak tahun 1961 hingga pemerintahan Indonesia diaktifkan bulan Mei 1963 sesuai Perjanjian New York.

Sejarah Singkat Organisasi Papua Merdeka (OPM) 
Selama Perang Dunia II, Hindia Belanda (kelak menjadi Indonesia) dipandu oleh Soekarno untuk menyuplai minyak demi upaya perang Jepang dan pribadi menyatakan merdeka dengan nama Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Nugini Belanda (Nugini Barat) dan Australia yang menjalankan pemerintahan di teritori Papua dan Nugini Britania menolak penjajahan Jepang dan menjadi sekutu pasukan Amerika Serikat dan Australia sepanjang Perang Pasifik. 

Hubungan Belanda dan Nugini Belanda sebelum perang berakhir dengan diangkatnya warga sipil Papua ke pemerintahan hingga pemerintahan Indonesia diaktifkan tahun 1963. Meski sudah ada perjanjian antara Australia dan Belanda tahun 1957 bahwa teritori milik mereka lebih baik bersatu dan merdeka, ketiadaan pembangunan di teritori Australia dan kepentingan Amerika Serikat membuat dua wilayah ini berpisah. OPM didirikan bulan Desember 1963 dengan pengumuman, "Kami tidak mau kehidupan modern! Kami menolak pembangunan apapun: rombongan pemuka agama, lembaga kemanusiaan, dan organisasi pemerintahan. Tinggalkan kami sendiri!" 

Nugini Belanda mengadakan pemilu pada Januari 1961 dan Dewan Nugini dilantik pada April 1961. Akan tetapi, di Washington, D.C., Penasihat Keamanan Nasional McGeorge Bundy melobi Presiden A.S. John F. Kennedy untuk menegosiasikan transfer pemerintahan Nugini Barat ke Indonesia. Perjanjian New York dirancang oleh Robert Kennedy dan ditandatangani oleh Belanda, Indonesia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Agustus 1962. 

Walaupun Belanda menuntut supaya rakyat Nugini Barat boleh memilih nasib sendiri sesuai piagam PBB dan Resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB dengan nama "Act of Free Choice", Perjanjian New York menunjukkan jeda tujuh tahun dan menghapuskan wewenang PBB untuk mengawasi pelaksanaan Akta tersebut. Kelompok separatis mengibarkan bendera Bintang Kejora Papua Barat pada tanggal 1 Desember setiap tahunnya. Tanggal tersebut mereka anggap sebagai hari kemerdekaan Papua. Kepolisian Indonesia berspekulasi bahwa orang-orang yang melaksanakan tindakan ibarat ini bisa dijerat dengan tuduhan pengkhianatan yang hukumannya berupa kurungan penjara selama 7 hingga 20 tahun di Indonesia. 

Pada bulan Oktober 1968, Nicolaas Jouwe, anggota Dewan dan Komite Nasional Nugini yang dipilih Dewan pada tahun 1962, melobi PBB dan mengklaim 30.000 tentara Indonesia dan ribuan PNS Indonesia menindas penduduk Papua. Menurut Duta Besar Amerika Serikat Francis Joseph Galbraith, Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik juga meyakini bahwa militer Indonesia yakni penyebab munculnya problem di teritori ini dan jumlah personilnya harus dikurangi hingga separuhnya. Galbraith menjelaskan bahwa OPM "mewakili orang-orang sentimen yang anti-Indonesia" dan "kemungkinan 85-90 persen [penduduk Papua] mendukung OPM atau setidaknya sangat tidak menyukai orang Indonesia". 

Brigadir Jenderal Sarwo Edhie mengawasi perancangan dan pelaksanaan Act of Free Choice pada 14 Juli hingga 2 Agustus 1969 - Sejarah Organisasi Papua Merdeka. Perwakilan PBB Oritiz Sanz tiba pada 22 Agustus 1968 dan berulang-ulang meminta supaya Brigjen Sarwo Edhie mengizinkan sistem satu orang, satu bunyi (proses yang dikenal dengan nama referendum atau plebisit), namun permintaannya ditolak atas alasan bahwa kegiatan semacam itu tidak tercantum dalam Perjanjian New York 1962. 1.025 tetua watak Papua dipilih dan diberitahu mengenai mekanisme yang tercantum dalam Perjanjian New York. Hasilnya yakni kesepakatan integrasi dengan Indonesia. 

Deklarasi Republik Papua Barat 
Menanggapi hal tersebut, Oom Nicolas Jouwe dan dua komandan OPM, Seth Jafeth Roemkorem dan Jacob Hendrik Prai, berencana mendeklarasikan kemerdekaan Papua pada tahun 1971. Tanggal 1 Juli 1971, Roemkorem dan Prai mendeklarasikan Republik Papua Barat dan segera merancang konstitusinya.Konflik taktik antara Roemkorem dan Prai berujung pada perpecahan OPM menjadi dua faksi: PEMKA yang dipimpin Prai dan TPN yang dipimpin Roemkorem. Perpecahan ini sangat memengaruhi kemampuan OPM sebagai suatu pasukan tempur yang terpusat. 

Sejak 1976, para pejabat perusahaan pertambangan Freeport Indonesia sering mendapatkan surat dari OPM yang mengancam perusahaan dan meminta sumbangan dalam planning pemberontakan ekspresi dominan semi. Perusahaan menolak bekerja sama dengan OPM. Mulai 23 Juli hingga 7 September 1977, milisi OPM melaksanakan bahaya mereka terhadap Freeport dan memotong jalur pipa slurry dan materi bakar, memutus kabel telepon dan listrik, mengkremasi sebuah gudang, dan meledakkan bom di sejumlah akomodasi perusahaan. Freeport memperkirakan kerugiannya mencapai $123.871,23. 

Tahun 1982, Dewan Revolusi OPM (OPMRC) didirikan dan di bawah kepemimpinan Moses Werror, OPMRC berusaha meraih kemerdekaan melalui kampanye diplomasi internasional. OPMRC bertujuan mendapatkan ratifikasi internasional untuk kemerdekaan Papua Barat melalui forum-forum internasional ibarat PBB, Gerakan Non-Blok, Forum Pasifik Selatan, dan ASEAN. 

Tahun 1984, OPM melancarkan serangan di Jayapura, ibu kota provinsi dan kota yang didominasi orang Indonesia non-Melanesia. Serangan ini pribadi diredam militer Indonesia dengan agresi kontra-pemberontakan yang lebih besar. Kegagalan ini membuat eksodus pengungsi Papua yang diduga dibantu OPM ke kamp-kamp di Papua Nugini.Tanggal 14 Februari 1986, Freeport Indonesia mendapatkan informasi bahwa OPM kembali aktif di kawasan mereka dan sejumlah karyawan Freeport yakni anggota atau simpatisan OPM. 

Tanggal 18 Februari, sebuah surat yang ditandatangani "Jenderal Pemberontak" memperingatkan bahwa "Pada hari Rabu, 19 Februari, akan turun hujan di Tembagapura". Sekitar pukul 22:00 WIT, sejumlah orang tak dikenal memotong jalur pipa slurry dan materi bakar dengan gergaji, sehingga "banyak slurry, bijih tembaga, perak, emas, dan materi bakar diesel yang terbuang." Selain itu, mereka mengkremasi pagar jalur pipa dan menembak polisi yang mencoba mendekati lokasi kejadian. Tanggal 14 April 1986, milisi OPM kembali memotong jalur pipa, memutus kabel listrik, merusak sistem sanitasi, dan mengkremasi ban. Kru teknisi diserang OPM ketika mendekati lokasi kejadian, sehingga Freeport terpaksa meminta sumbangan polisi dan militer. 

Dalam kejadian terpisah pada bulan Januari dan Agustus 1996, OPM menawan sejumlah orang Eropa dan Indonesia; pertama dari grup peneliti, kemudian dari kamp hutan. Dua sandera dari grup pertama dibunuh dan sisanya dibebaskan.Bulan Juli 1998, OPM mengibarkan bendera mereka di menara air kota Biak di pulau Biak. Mereka menetap di sana selama beberapa hari sebelum militer Indonesia membubarkan mereka. Filep Karma termasuk di antara orang-orang yang ditangkap. Tanggal 24 Oktober 2011, Dominggus Oktavianus Awes, kepala polisi Mulia, ditembak oleh orang tak dikenal di Bandara Mulia, Puncak Jaya. Kepolisian Indonesia menduga sang penembak yakni anggota OPM. Rangkaian serangan terhadap polisi Indonesia memaksa mereka menerjunkan lebih banyak personil di Papua. 

Pada tanggal 21 Januari 2012, orang-orang bersenjata yang diduga anggota OPM menembak mati seorang warga sipil yang sedang menjaga warung. Ia yakni transmigran asal Sumatera Barat. Tanggal 8 Januari 2012, OPM melancarkan serangan ke bus umum yang menjadikan maut 3 warga sipil dan 1 anggota TNI. 4 lainnya juga cedera. Tanggal 31 Januari 2012, seorang anggota OPM tertangkap membawa 1 kilogram obat-obatan terlarang di perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Obat-obatan tersebut diduga akan dijual di Jayapura. 

Tanggal 8 April 2012, OPM menyerang sebuah pesawat sipil Trigana Air sesudah mendarat yang akan parkir di Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua. Lima militan bersenjata OPM tiba-tiba melepaskan tembakan ke pesawat, sehingga pesawat kehilangan kendali dan menabrak sebuah bangunan. Satu orang tewas, yaitu Leiron Kogoya, seorang jurnalis Papua Pos yang mengalami luka tembak di leher - Sejarah Singkat Organisasi Papua Merdeka. Pilot Beby Astek dan Kopilot Willy Resubun terluka akhir pecahan peluru. Yanti Korwa, seorang ibu rumah tangga, terluka di lengan kanannya dan anaknya yang berusia 4 tahun, Pako Korwa, terluka di tangan kirinya. Pasca-serangan, para militan mundur ke hutan sekitar bandara. Semua korban yakni warga sipil.

Sejarah Singkat Organisasi Papua Merdeka Sejarah Organisasi Papua Merdeka (OPM)
Foto: Ilustasi/nasional.tempo.co

Tanggal 1 Juli 2012, patroli keamanan rutin yang diserang OPM menjadikan seorang warga sipil tewas. Korban yakni presiden desa setempat yang ditembak di cuilan kepala dan perut. Seorang anggota Tentara Nasional Indonesia terluka oleh pecahan kaca. Tanggal 9 Juli 2012, tiga orang diserang dan tewas di Paniai, Papua. Salah satu korban yakni anggota TNI. Dua lainnya yakni warga sipil, termasuk bocah berusia 8 tahun. Bocah tersebut ditemukan dengan luka tusuk di cuilan dada. 

DAFTAR PUSTAKA 

Benny Giay, 1986, Kargoisme di Irian Jaya, (Jayapura: Region Press) hal. 3 

Carmel Budiardjo dan Liem Soei Liong, 1988, "Military report of incidents in the District of Jayawijaya in 1977" dalam West Papua: the obliteration of a people, (UK: Tapol) hal. 119-124. 

http://id.wikipedia.org/

Belum ada Komentar untuk "Sejarah Organisasi Papua Merdeka (Opm)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel