Kebijakan Politik Islam Jepang Di Indonesia

Kebijakan Politik Islam Jepang di Indonesia - Balatentara Jepang memahami situasi Indonesia dengan lebih banyak didominasi ialah umat Islam. Oleh alasannya itu, diletakan dasar kebijakan dalam membina teritorialnya, dikenal dengan kebijakan berdasarkan H.J.Benda disebutnya Nippon's Islamic Grass Root Policy – Kebijakan Politik Islamnya Jepang yang ditujukan mengekloitasi potensi Ulama Desa.

Jepang menyadari adanya kekuatan partai politik Islam yang masih kongkrit aktif hingga masa pendaratan Jepang ialah Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII), dan organisasi sosial dan dakwah ialah Al Wasliyah di Medan, Mathla'ul Anwar di Banten, Persyarikatan Ulama di Majalengka, Persatuan Tarbiyatul Islamiyah (Perti) di Padang, Muhammadiyah di Yogyakarta, Persatuan Islam di Bandung dan Nahdlatul Ulama di Surabaya, ketiga organisasi yang terakhir ini, membangun wadah kesatuan perjuangannya pada tahun 1937 ialah Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI).

Keseluruhan organisasi ini, dinilai oleh Balatentara Jepang akan menjadi kerikil penghalang penjajahan Jepang di Indonesia. APalagi dengan kondisi Timur Tengah yang memihak ke Sekutu, padahal umat Islam Indonesia orientasinya sangat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di Timur Tengah. Oleh alasannya itu, bagaimanapun juga Jepang berupaya sekuat dayanya untuk menentukan satu-satunya pendekatan kepada umat Islam Indonesia.


Jepang mencoba memanfaatkan kondisi Indonesia, umat Islamnya biar tumbuh dan bergantung pula kepada Jepang. Digariskanlah kebijakan yang bersifat depolitisasi umat Islam. Partai Politik dan Organisasi sosial pendidikan di atas, tidak boleh mengadakan acara organisasinya.

Sebagai substitusi, dan sekaligus dibutuhkan bisa memobilisasi potensi umat Islam dibentuklah Shumubu – Kantor Urusan Agama, yang dipimpin oleh Kolonel Horie, pada selesai maret 1942. Terlihat betapa cepatnya antara pendudukan dengan pembentukan Shumubu. Dengan demikian Jepang telah usang memprogramkannya.

Shumubu yang dipimpin oleh tentara Jepang, ternyata tidak sanggup bekerja sebagaimana yang diharapkan. Tidak bisa memobilitaskan rakyat, umat Islam dikala itu sukar untuk dipimpin oleh orang asing. Oleh alasannya itu, Kolonel Horei digantikan oleh Hoesein Djajadiningrat, tetapi alasannya sebagai pakar agama Islam, yang tidak pernah memimpin organisasi sosial Islam, tidak pula mempunyai efek pada umat. Oleh alasannya itu, diadakan lagi reorganisasi Shumubu dengan menggantikan Ketua Shumubu oleh K.H. Hasyim Asy'ari. Akibat gres saja keluar dari tahanan, alasannya menolak menjalankan saikerei menghormati ke arah Tokyo, maka acara harian diserahkan kepada wakilnya Wahid Hasyim.

Melalui pimpinan NU, Jepang mengharapakan Shumubu tidak saja bisa memobilitaskan massa umat Islam, melainkan juga logistik. Tetapi dengan diplomatis sekali mengenai akreditasi Gunseikan terhadap Ulama. Didasarkan perlunya Ulama memahami budaya Jepang, dan segenap tata kehidupan Jepang. Dari pemahaman ini biar dikembangkan kepada generasi muda. Secara tidak pribadi Gunseikan meminta kesadaran dan kecintaan terhadap Jepang. Selanjutnya dari kecintaan akan menumbuhkan pengorbanan untuk Jepang.

Setelah pembentukan Shumubu, Jepang mengizinkan pembentukan wadah gres guna menyalurkan acara mantan pimpinan parpol dan ormas, pada 29 April 1942, dibuat organisasiTiga-A (Nippon Pemimpin Asia, Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia), Organisasi ini dipimpin oleh Shimitzu dan Samsudin (Parindra). Makna Nippon sebagai Pemimpin Asia, sebagai bahasa lain, Saudara Tua dalam pengertian politik. Demikian pula makna Cahaya dan Pelindung, menawarkan kesan bahwa Indonesia belum bisa berdikari sebagai bangsa merdeka tanpa petunjuk dan payung Jepang.

Demikianlah upaya Jepang dalam membuat kondisi baru, depolitisasi umat Islam Indonesia - Kebijakan Politik Islam Jepang di Indonesia. Dimatikan kesadaran politik Indonesia Merdeka, dibangkitkan kesadaran baru, dialihkan kecintaan berorganisasinya bukan untuk Islam semata, tetapi juga kepada acara memenangkan perang Jepang dengan slogannya Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.

Kebijakan politik mematikan organisasi sosial politik umat Islam, dan membangun wadah gres dengan change target, biar umat Islam mendukung tujuan pembaharuan Jepang atas Indonesia. Upaya pembaharuan yang demikian itu sanggup diprediksikan Jepang akan menemui kesulitan dalam mengaplikasikan change strategi-nya. Apalagi Jepang melihat kenyataan perangnya, menghadapi serangan balik Sekutu yang tidak sanggup dibendung lagi. Jepang menderita kekalahan di semua medan. Jepang merasa perlu mengadakan pendekatan gres terhadap pimpinan nasional yang benar mempunyai massa rakyat yang kongkrit.

Setiap kebijakan politik Jepang sebagai penjajah tidak terlepas dari kepentingan devide and rule – pecah belah untuk dikuasai. Dalam pandangan politik Jepang, bangsa Indonesia mempunyai dua kubu pimpinan : Nasionalis Islam dan Nasionalis dari organisasi non Islam (Nasionalis Sekuler).

Untuk umat Islam diizinkan membangun kembali Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) (4 September 1942) dan Majelis Syura Muslimin Indonesia – Masyumi (November 1943), namun Jepang juga membuat Pusat Tenaga Rakyat – Putera (Maret 1943). Bila MIAI dipimpin oleh Wondoamiseno dari PSII, Masyumi dipimpin K.H. Hasyim Asy'ari dari NU, sedangkan Putera dipimpin oleh empat serangkai, dengan ulamanya K.H. Mas Mansur dari Muhammadiyah, selain Bung Karno (PNI), Bung Hatta (PNI Baru) dan Ki Hajar Dewantara (Taman Siswa). Dari penempatan Ulama yang berbeda-beda organisasinya yang dipimpinnya, terlihat adanya pemahaman Jepang bahwa setiap pembaharuan tanpa ada ikut sertanya Ulama di dalamnya, akan menemui kegagalan. Tetapi dari pemecahan itu pula terbaca upaya devide and rule-nya Jepang terhadap potensi umat Islam.

Dari sisi lain, kebijakan pembubaran MIAI diikuti dengan pembentukan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada tahun 1943, terbaca pengalihan kepercayaan Jepang kepada Ulama NU. Pimpinan utama organisasi ini, diserahkan kepada Khudratus Syeikh K.H. Hasyim Asyari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama.

Dalam acara hariannya diserahkan kepada Ketua Mudanya, Wahid Hasyim, putera K.H. Hasyim Asari menyerupai halnya dengan Shumubu di atas. Sekalipun terjadi menyerupai Shumubu lagi, namun Jepang mengandalkan kharismatinya Khudratus Syeikh K.H. Hasyim Asyari walaupun secara fisik tidak aktif dalam Shumubu, maupun Masyumi, namun dengan didelegasikannya kepada Wahid Hasyim, kedua organisasi tersebut akan sanggup berjalan menyerupai yang dibutuhkan Jepang.

Hal ini dipertimbangkan sesuai Nippon's Islamic Grass Root Policy yang diarahan kepada memobilitaskan massa dan materi umat Islam dari desa, maka Jepang melihat NU sebagai organisasi pemilik massa desa. oleh alasannya itu, ditumpahkan kepercayaan Jepang kepada pimpinan jamiah NU.

Disamping itu, Jepang juga membangun Mahkamah Tinggi Islam Indonesia- Kaikyoo Kootoo Hooin, dan Balai Penyelidikan Kebudayaan Islam Indonesia – Kaikyoo Bunka Kenkyuu Zyo, serta Perpustakaan Kebudayaan Islam Indonesia – Kaikyoo Bunken Syo. Untuk pengumpulan dana umat Islam, dibentuklah Baitul Maal, Kebijakan Politik Islam Jepang di Indonesia. Sepintas Jepang benar-benar akan menegakan Syariah Islam, dan akan mencerdaskan umat Islam. Dibalik kebijakkan ini, tetap terselip kepentingan kepenjajahannya dalam mengeksploitasikan potensi umat.

Kesemuanya ini merupakan bab dari sistem persenjataan sosial (sisos) dari Jepang, lebih menginginkan dengan pendekatan budaya dalam merangkul umat Islam. Tentunya Jepang mencar ilmu dari pengalaman para penjajah Indonesia terdahulunya. Disisi lain dengan kebijakannya, Jepang mengharapkan kedua kekuatan nasionalis tetap dalam perpecahan. Masyumi kontra Putera. Di atas keretakan keduanya, Jepang berharap untuk sanggup bertahan usang menguasai Indonesia, dan bisa mengendalikan meredam usaha bangsa Indonesia yang menginginkan Indonesia Merdeka.

DAFTAR PUSTAKA :

Ahmad Mansyur Suryanegara. 1996. Pemberontakan Tentara PETA Di Cileunca Pangalengan Bandung Selatan. Yayasan Wira Patria Mandiri Jakarta, hal : 75 – 93


http://www.bimbie.com/pengaruh-jepang.html

Artikel Terkait

Belum ada Komentar untuk "Kebijakan Politik Islam Jepang Di Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel