Sejarah Usaha Sultan Mahmud Badaruddin Ii

Sejarah Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II - Sultan Mahmud Badaruddin II lahir di Palembang pada tahun 1767. Ia ialah pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam selama dua periode (1803-1813, 1818-1821), sesudah masa pemerintahan ayahnya, Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803). Nama aslinya sebelum menjadi Sultan ialah Raden Hasan Pangeran Ratu.

Konflik dengan Inggris Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan masa ke-18, Palembang dan daerahnya menjadi incaran Britania dan Belanda. demi menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa berniat menguasai Palembang. Awal mula penjajahan bangsa Eropa ditandai dengan penempatan Loji (kantor dagang). Di Palembang, loji pertama Belanda dibangun di Sungai Aur.

Orang Eropa pertama yang dihadapi Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) ialah Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles tahu persis watak Sultan Palembang ini. Karena itu, Raffles sangat menaruh hormat di samping ada kekhawatiran sebagaimana tertuang dalam laporan kepada atasannya, Lord Minto, tanggal 15 Desember 1810:

"Sultan Palembang ialah salah seorang pangeran Melayu yang terkaya dan benar apa yang dikatakan bahwa gudangnya penuh dengan dollar dan emas yang telah ditimbun oleh para leluhurnya. Saya anggap inilah yang merupakan satu pokok yang penting untuk menghalangi Daendels memanfaatkan pengadaan sumber yang besar tersebut".

Bersamaan dengan adanya kontak antara Britania dan Palembang, hal yang sama juga dilakukan Belanda. Dalam hal ini, melalui utusannya, Raffles berusaha membujuk SMB II untuk mengusir Belanda dari Palembang (surat Raffles tanggal 3 Maret 1811).

Dengan bijaksana, SMB II membalas surat Raffles yang pada dasarnya menyampaikan bahwa Palembang tidak ingin terlibat dalam permusuhan antara Britania dan Belanda, serta tidak ada niatan bekerja sama dengan Belanda. Namun alhasil terjalin kolaborasi Britania-Palembang, di mana pihak Palembang lebih diuntungkan.

Peristiwa Loji Sungai Aur (1811)
Hubungan perdagangan antara Belanda/VOC dengan Palembang sudah terjalin semenjak permulaan masa ke-17, terutama menyangkut komoditi lada dan timah. Pada permulaan masa ke-19 terjadi kudeta di Nusantara antara Inggris dan Belanda. Peristiwa ini ialah dalam rangka perang yang terjadi di Eropa antara Inggris dan Perancis semasa kekuasaan Napoleon Bonaparte.

Negeri Belanda menjadi bab dari Perancis yaitu Bataafse Republik, oleh alasannya ialah itu milik Belanda yang ada di Nusantara pun direbut oleh Inggris. Terjadi penyerbuan tentara Inggris yang berpangkalan di Malaka dan Penang ke Batavia/Jawa pada bulan Agustus 1811, kemudian penyerahan kekuasaan Belanda kepada Inggris tanggal 18-9-1811 di desa Tuntang, Jawa Tengah. Mengetahui hilangnya kekuasaan Belanda sesudah penyerbuan ke Batavia bulan Agustus 1811 tersebut, pada tanggal 14 September 1811 Sultan Mahmud Badaruddin II meminta Residen Belanda beserta pasukannya meninggalkan loji. 

Ia mula-mula menolaknya, kemudian 87 orang digiring naik ke kapal pada hari itu, rupanya mereka mengadakan perlawanan, oleh alasannya ialah itu hingga di muara Sungsang mereka dibunuh semuanya dan kapal ditenggelamkan. Peristiwa ini dikenal dengan "penyembelihan massal" (Palembang Massacre). Belanda menuding Raffles (Penguasa Inggris di Indonesia) sebagai biang keladinya alasannya ialah menghasut Sultan melaksanakan itu, tetapi Raffles menolaknya dan menuduh Mahmud Badaruddin II yang bertanggung jawab mengenai hal ini.

Seminggu sesudah pengusiran Belanda dari loji sungai Aur, maka loji tersebut dibakar habis serta dibongkar hingga fondasinya. Rupanya Sultan tidak ingin melihat adanya monumen Belanda yang masih tersisa meskipun hanya puing-puingnya.

Penyerbuan Inggris ke Palembang tahun 1812
Hubungan Sultan Mahmud Badaruddin II dengan Raffles cukup baik sebelum takluknya Belanda dari Inggris. Tindakan Sultan yang menolak pembicaraan menyangkut timah Bangka dan tidak memberi kesempatan meninjau loji sungai Aur yang telah rata dengan tanah, dan pembunuhan orang-orang Belanda yang dianggap tak bermoral, merupakan alasan Raffles (penguasa Inggris di Indonesia) untuk mengirim sebuah ekspedisi militer di bawah Mayor Jendral Gillespie dari Batavia tanggal 20 Maret 1812.

Sultan dengan pasukannya telah berkemas-kemas menyambut ekspedisi tersebut dengan memperkuat kubu-kubu pertahanannya di sepanjang sungai Musi, dengan kubu-kubu meriam terapung, perahu-perahu bersenjata, rakit-rakit berisi materi yang gampang terbakar untuk menghambat kedatangan armada Inggris serta di pusat pertahanannya di keraton (sekarang Benteng) dengan 242 pucuk meriam siap menghadapi musuh.

Tetapi alasannya ialah pengkhianatan adiknya sendiri (Pangeran Adipati Najamuddin = Husin Dhiauddin) dan lebih unggulnya persenjataan musuh maka dalam waktu seminggu Palembang jatuh (24 April 1812). Sultan Mahmud Badaruddin II menyingkir ke pedalaman dengan membawa segala perlengkapan kerajaan dan hartanya. Gillespie menduduki kraton pada 25 April 1812 dan keesokan harinya bendera Inggris dikibarkan didalam Kraton. Adik Sultan (Najamuddin II) dinobatkan oleh Inggris dan harus menandatangani perjanjian pada 12 Mei 1812 yang isinya antara lain penyerahan Bangka dan Belitung kepada Inggris. Kapten Meares yang diangkat sebagai Residen Inggris ditugaskan mengejar Sultan Mahmud Badaruddin II dan terjadi pertempuran di Bailangu dengan kekalahan pihak Inggris, Meares tertembak dan alhasil meninggal. Untuk mempertahankan posisinya Sultan mendirikan kubu-kubu pertahanan di Muara Rawas dan daerah-daerah pedalaman dengan demikian Sultan tidak sanggup ditaklukkan.

Pengganti Kapten Meares yaitu Mayor Robison yang bertugas di Palembang mulai 13 Februari 1813. Ia rupanya agak kurang sependapat dengan kecerdikan Raffles, dan mengadakan negosiasi dengan utusan S.M.B. II alasannya ialah melihat beberapa pertimbangan sebagai berikut: Ketidak becusan Najamuddin II dan ketidak kepastian pinjaman darinya, serta rakyat Palembang masih menghendaki kembalinya S.M.B. II (yang berakibat negeri Palembang dalam keadaan anarki).

Perjanjian Muara Rawas pun dibentuk pada 29 Juni 1813, yang menyatakan S.M.B. II sanggup kembali ke Palembang dengan imbalan 200.000 dollar kepada pemerintah Inggris. Tanggal 13 Juli 1813 S.M.B. II kembali ke Palembang dan duduklah beliau sebagai Sultan yang berdaulat. Tindakan Robison ini tentu saja tidak disetujui Raffles alasannya ialah mengangkat kembali Sultan yang sudah dipecat Raffles.

Raffles mengirimkan sebuah komisi yang dipimpin Kapten George Elliot disertai pengganti Robison, M.H.Court, serta Mayor W.Colebrooke dan Letkol Mc.Gregor yang membawa 400 pasukan Eropa, yang mulai berangkat pada 7 Agustus 1813. Robison diberitahu bahwa segala tindakannya tidak sanggup diterima dan ia dipecat kemudian ditahan. (Kemudian hari sesudah ia bebas, ia mengadukan kepada penguasa Inggris di India dan di Inggris mengenai tindakan-tindakan Raffles yang tercela).

Komisi tersebut memecat S.M.B. II sesudah hanya sebulan bertahta dan mengangkat kembali Ahmad Najamuddin sebagai Sultan Palembang, Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II. Perdamaian antara Inggris dan Perancis di Eropa sesudah jatuhnya Napoleon menghipnotis politik di Nusantara. Perjanjian London 13 Agustus 1814 tetapkan bahwa Inggris harus menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya di seberang lautan yang didudukinya semenjak 1803.

Kebijaksanaan pemerintah Inggris ini kurang sanggup jawaban yang baik dari Raffles. Baru kemudian pada 29 Juni 1817 koloni Belanda di Nusantara dikembalikan sesudah Raffles digantikan John Fendall. Raffles menetap di Bengkulu sebagai Residen Inggris. Komisaris (Residen) Belanda di Palembang ditunjuk Mutinghe.

Perang Palembang I (1819)
Setelah kembalinya Belanda di Palembang, Mutinghe menonaktifkan Najamuddin II (Husin Dhiauddin) dan mengangkat kembali S.M.B. II. Husin Dhiauddin tidak bahagia dengan perlakuan ini dan mengadu kepada Raffles di Bengkulu. Raffles mengirimkan ekspedisi kira-kira 300 tentaranya ke Palembang melalui jalan darat.

Terjadi kejadian di Palembang, namun tentara penggagas Inggris yang ada di Palembang diusir oleh tentara Belanda, dikembalikan lewat bahari ke Bengkulu. Selanjutnya Mutinghe memburu sisa tentara Inggris di Muara Beliti dan terjadi pertempuran di sana yang berakhir dengan perdamaian. Dengan adanya kejadian ini maka Dhiauddin diasingkan ke Betawi dan Cianjur beserta para keluarganya.

Ketika Mutinghe kembali ke kota, ia diserang oleh pengikut-pengikut Badaruddin II, sehingga ia cepat-cepat mundur ke Palembang. Mutinghe menuduh Badaruddin II bertanggung jawab atas serangan pengikut-pengikutnya di pedalaman. Setelah mendaratkan komplemen 209 pasukan Belanda dari Jakarta, Mutinghe mengultimatum Badaruddin II untuk menyerahkan putra sulungnya sebagai jaminan. Hal ini mengakibatkan kemarahan Badaruddin II.

Terjadi pertempuran tanggal 11 – 15 Juni 1819 (istilah Palembang "Perang Menteng") antara pasukan Sultan Mahmud Badaruddin II yang bertahan di Kraton (Benteng) dan pasukan Belanda di Kraton Lama dan di beberapa kapal perang. Pasukan Mutinghe sanggup dihancurkan, dari semula 500 orang pasukan tinggal 350, Mutinghe bersama sisa pasukan ini lari ke Batavia.

Perang Palembang II (1819)
Kekalahan Belanda bulan Juni 1819 tersebut sangat menyakitkan Belanda. Gubernur Jendral Van der Capellen bersama Panglima Angkatan Laut Laksamana Wolterbeek dan Panglima Angkatan Darat Mayjen De Kock merencanakan penyerbuan kembali ke Palembang. Dengan kira-kira 20 kapal perang dan 1500 tentara, pasukan Belanda berangkat dari Batavia (Jakarta) tanggal 22 Agustus 1819. Pada tanggal 30 Agustus 1819 mereka tiba di Mentok, di Bangka sebagian pasukan ini membantu memerangi usaha rakyat Bangka, dengan korban cukup banyak.

Jika waktu penyerbuan Inggris tahun 1812 konsentrasi kekuatan Palembang dipusatkan di pulau Borang dan Pulau Salah Nama, tetapi dengan pengalaman pahit menghadapi Inggris tersebut maka pusat pertahanan dirubah. Kali ini pertahanan ditempatkan sepanjang sungai Musi dengan penempatan meriam-meriam untuk mengganggu perjalanan armada Belanda. Konsentrasi dipusatkan di sekitar Plaju dan pulau Kembaro (Pulau Kemaro) dengan beberapa benteng yang diperlengkapi dengan ratusan meriam.

Panglima perangnya ialah Putra mahkota (Pangeran Ratu, kemudian bergelar Najamuddin III). Dalam armada yang menyerbu ke Palembang ini beberapa anggota keluarga Husin Dhiauddin ikut diatas kapal membantu Belanda menunjukkan jalan.

Selanjutnya antara 18 September dan 30 Oktober 1819 terjadi pertempuran sepanjang sungai Musi dan di Palembang dengan hasil pasukan Belanda dipukul mundur dengan korban kira-kira 500 orang, sepertiga dari seluruh kekuatan semula. Dalam pelayaran mundur armada Belanda, tanggal 3 dan 4 November 1819 telah hingga di Sungsang kemudian menyebrang ke Mentok.

Ini merupakan kekalahan kedua dari Mutinghe. Dua ahad sesudah armada Belanda meninggalkan Bangka ke Batavia, Residen Bangka Smissaert dipenggal kepalanya oleh para pejuang pimpinan Dipati Bahrin dan dipersembahkan kepada Badaruddin II sebagai tanda keberanian dan loyalitas pejuang Bangka.

Kemenangan Palembang dirayakan oleh rakyat dengan luapan kegembiraan. Pada bulan Desember 1819 Pangeran Ratu dinobatkan menjadi Sultan Ahmad Najamuddin III, menggantikan ayahnya. Sedangkan Mahmud Badaruddin II menjadi Susuhunan.

Pasukan dari armada Wolterbeek sesampai di Mentok dibagi tiga, satu bab yang luka-luka kembali ke Batavia, satu bab bersama Wolterbeek berlayar ke kepulauan Riau. Satu bab lagi membantu penumpasan usaha rakyat Bangka. Komandan tentara Belanda di Bangka dipimpin Letnan Keer. Pertempuran terbesar antara lain terjadi di Toboali. Para pemimpin di Bangka ketika itu antara lain Raden Keling dan Raden Badar. Pertempuran di Bangka gres padam 1821.

Perang Palembang III (1821)
Kekalahan pada perang-perang sebelumnya, menjadi perhatian serius bagi pihak Kerajaan Belanda dan pemerintah kolonial Belanda di Batavia. Mereka pun menciptakan suatu perencanaan yang lebih matang untuk menundukkan Palembang. Langkah ditempuh dengan mempersiapkan pasukan yang lebih berpengaruh dan siasat memecah belah kerabat Kesultanan. Alur-alur pelayaran utama dari/ke Palembang diblokade angkatan bahari Belanda. Meskipun begitu, jalannya pemerintahan Kesultanan tetap berjalan baik dan rakyat hidup makmur.

Perombakan pimpinan pasukan Kesultanan Palembang dilakukan untuk persiapan perang. Politik memecah belah Belanda terus dijalankan. Sultan Husin Dhiauddin dan keluarganya yang diasingkan ke Jawa dibujuk supaya memihak Belanda. Pangeran Syarif Muhammad yang keturunan Arab ditugaskan untuk menghipnotis orang-orang Arab yang bersahabat dengan Sultan Mahmmud Badaruddin II supaya mengkhianatinya. Demikian juga dengan orang-orang Cina. Beberapa Priyayi Palembang diperalat untuk membocorkan belakang layar pertahanan Sultan Mahmud Badaruddin II. Pangeran Akil dari Siak serta Pangeran Prang Wedono dari Mangkunegaran di Jawa Tengah membantu penumpasan usaha di Bangka dan penyerbuan ke Palembang.

Tanggal 8 Mei 1821 Ekspedisi penyerbuan ke Palembang dipimpin Mayjen De Kock dilepas Gubernur Jendral Van der Capellen di Batavia dengan upacara kebesaran. Armada berangkat dari Batavia pada 9 Mei 1821. Kekuatan armada lebih dari 100 kapal perang besar/kecil dan personil lebih dari 4000 orang, dipersenjatai lebih dari 400 meriam besar/kecil dan senjata-senjata lain.

Kekuatan pasukan penyerbuan ke Palembang ini jauh lebih besar dari yang sebelumnya. Tanggal 13 Mei 1821 armada berhasil mencapai Mentok dan diperkuat dengan kapal-kapal dan personil yang bertugas memblokade Palembang, bahu-membahu masuk ke sungai Musi. Pertempuran-pertempuran jago berlangsung antara tanggal 22 Mei 1821 hingga 24 Juni 1821 sepanjang sungai Musi hingga Kertapati. Husin Dhiauddin membantu Belanda menujukkan jalan dan beserta keluarganya ikut dalam armada penyerbuan ini yaitu diatas kapal Fregat Jacob Elizabeth.

Berbeda dengan tahun 1819 waktu penyerbuan oleh Laksamana Wolterbeek banyak korban Belanda terjadi alasannya ialah meriam-meriam maling yang ada sepanjang sungai Musi. Pada penyerbuan kali ini peta lokasi pertahanan Sultan telah diketahui Belanda semua melalui biro belakang layar orang-orang Palembang sendiri, sehingga Belanda sanggup menghindar dari serangan meriam-meriam itu.

Dalam peperangan kali ini meskipun di pihak Belanda juga banyak jatuh korban (lebih dari 300 orang) tetapi pertahanan di Benteng-benteng Palembang alhasil bobol. Cerucup-cerucup pancang penghalang kapal antara Pulau Kembaro dan Plaju sanggup dicabuti semua oleh pihak Belanda, memakai peralatan yang khusus didatangkan dari negeri Beianda, sehingga memungkinkan sebagian besar kapal-kapal armada masuk ke tengah Palembang.

Pertahanan Palembang yang terakhir ialah di Benteng Kuto Besak, armada sudah berada di depannya. Tanggal 26 Juni 1821 Jendral De Kock mengirimkan surat kepada Badaruddin II yang isinya supaya beliau menyerah. Badaruddin menghadapi suatu dilema, yaitu kalau bertahan hingga titik darah penghabisan akan terjadi pertempuran yang sangat dahsyat, yang akan mengorbankan seluruh rakyatnya dan keluarganya.

Ternyata beliau menunjukkan kebijaksanaanya yaitu menyerahkan kekuasaan Sultan kepada kemenakannya yaitu Prabu Anom putra saudaranya Husin Dhiauddin, menjadi Sultan Ahmad Najamuddin IV. Peritiwa ini terjadi tanggal 29 Juni 1821 dan oleh Husin Dhiahuddin dilaporkan kepada De Kock.

Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam tanggal 3 Syawal , SMB II beserta sebagian keluarganya menaiki kapal Dageraad pada tanggal 4 syawal dengan tujuan Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan ke Pulau Ternate hingga final hayatnya 26 September 1852.

SMB II telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah Republik Indonesia menurut SK No. 63/TK/1984 di Jakarta (Sejarah Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II), tertanggal 29 Oktober 1984.

Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di Palembang, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II dan Mata uang rupiah pecahan 10.000-an yang dikeluarkan oleh bank Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2005. Penggunaan gambar SMB II di uang kertas ini sempat menjadi kasus pelanggaran hak cipta, diduga gambar tersebut dipakai tanpa izin pelukisnya, namun kemudian terungkap bahwa gambar ini telah menjadi hak milik panitia penyelenggara lomba lukis wajah SMB II.

DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth T. Gurning, Amurwani Dwi Lestariningsih. 2000. Bumi Sriwijaya. Indonesia: Departemen Pendidikan Nasional

Id.wikipedia.org

Artikel Terkait

Belum ada Komentar untuk "Sejarah Usaha Sultan Mahmud Badaruddin Ii"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel