Sejarah Perubahan Sosial Budaya Di Batavia Era 19

Sejarah Perubahan Sosial Budaya di Batavia Abad ke 19 - Tidak menyerupai pada masa VOC, kurun ke-19 kaya akan catatan-catatan pribadi yang ditulis oleh anggota komunitas Eropa di Indonesia yang berkembang pesat. Tidak ada lagi catatan-catatan perjalanan yang ditinggalkan oleh para pelancong. Pada kurun ini, para pemukim dari banyak sekali tingkatan masyarakat merasa tergerak untuk mengemukakan pendapatnya di surat kabar yang terbit pada masa itu. 

Kebanyakan para penulis tersebut mengemukakan pendapatnya mengenai ketidakmampuan orang Belanda di Indonesia dalam menjaga integritas mereka dengan kebudayaan orisinil mereka selama beberapa dekade. Banyak imgran abad-19 yang berusaha menjelaskan perubahan drastic yang terjadi pada kebudayaan Eropa di Indonesia - Sosial Budaya di Batavia Abad 19. Banyak penulis, mulai dari Jhannes Hennus hingga Bas Veth melayangkan kritik terhadap terhadap kondisi hidup di Indonesia abd ke-19 dan menganggapnya sebagai sebuah degenerasi. Penjelasan mereka mengenai perubahan kebudayaan bervariasi. 

Dari penolakan keras para imigran untuk menghargai hak istimewa dan hak asazi system kelas pada masyarakat, perkawinan campur, hingga merusak keturunan Belanda. Di samping itu, praktek pengambilan wanita local sebagai gundik ditenggarai sebagai penyebab hilangnya nilai-nilai budaya Belanda. Juga pemicu permasalahan domestic rumahtangga imigran dan penelantaran anak hasil kekerabatan tersebut. Anak-anak ini tumbuh menjadi orang-orang yang merusak aturan dan ketertiban.

Penulis menyalahkan perubahan mendadak dalam gaya hidup dan kepercayaan para wanita kulit putih. Mereka dianggap malas, sombong dan terlalu menyayangi dunia sehabis menetap di Indonesia. Penulis lain mencemooh berkurangnya kesalehan dan menggolongkan para imigran sebagai orang yang terobsesi terhadap harta, jabatan dan kehormatan. Sudah menjadi suatu yang lumrah bagi para penulis untuk mengkritik kebiasaan membaca masyarakat Eropa di Indonesia yang tidak terarah dan tanpa tujuan yang serius. 

Para kritikus tersebut menghubungkan perubahan budaya dengan pergaulan sehari-hari bersama penduduk setengah Asia. mereka mendesak para orang renta untuk mengirimkan anaknya mencar ilmu ke Belanda. Mereka memperlihatkan keterkejutan terhadap kebiasaan bangsa Eropa yang menonton wayang dan mengagumi keseniaan Indonesia.

Kritik terpedas ditunjukkan kepada para imigran yang hidup layaknya penduduk local."kisah-kisah horror" ini ditulis dalam semua laporan mengenai kehidupan orang indies. Kritik mereka memperlihatkan bahwa dalam masyarakat colonial, penampilan luar mempunyai banyak implikasi. Perubahan pada pakian yang dikenakkan seseorang bisa diartikan perubahan mata pencaharian, perubahan system aturan yang mengatur perbuatanya. Semua ini menujukkan perbedaan hak dan kewajiban , naik atau turunya status seseorang dalam kelompok yang terpisah.

Pada masyarakat berikutnya, beberapa penulis lain mengemukakan kekagumannya terhadap kebiasaan dan tingkahlaku yang khas Indonesia. Mereka menyebutnya sebagai "keramahan Indies". Keramahan Indies ini antara lain ialah keroyalan menawarkan hadiah pada sobat dan saudara. Juga keramahan pada tamu yang selalu mereka hibur semoga betah berlama-lama dirumahnya. Mereka melihat bahwa hidup yang elegan ialah kehidupan sehari-hari yang berjalan dalam tempo lambat, percakapan diluar rumah di malam hari selama berjam-jam, berjalan-jalan dengan kereta kuda dan bermain bola. Mereka begitu hangat dan suka menolong sesame orang eropa yang dianggap oleh kritikus sebagai sebuah kemunafikan semata.

Orang-orang eropa ini semakin menambah keluwesan meraka berbudaya Indies dengan meminum kopi di pagi hari, tidur siang dan saling berkunjung satu sama lain. Ketika dihadapkan pada kritikus yang mengancam kurangnya stimulasi intelektual pada masyarakat colonial, para penulis ini berasalasan bahwa tindakan mereka ditujukan untuk memperluas pemikiran, Perubahan sosial Budaya di Batavia Abad ke 19. Bahkan, beberapa dari penulis ini menunjukan kekaguman mereka terhadap para nyai (gundik Indonesia) yang setia pada majikan dan bagi pemiliknya menguak " misteri dunia timur". Sementara itu beberapa penulis lainya mengabdikan eksistensi juru masak dan pengasuh Jawa dalam goresan pena mereka.

Para penulis ini mengagumi kebiasaan masyarakat Indies. Terutama dalam bentuk pakian, kebiasaan mandi dan risjsttafel yang menjadi karakteristik koloni Eropa di paruh abd ke-19. Seperti telah disebutkan sebelumnya, saat para imigran sanggup tetap berafiliasi dengan tanah kelahiran nya melalui telegraf, buku dan cuti kekampung halaman, meraka tetap mengadopsi kebiasan-kebiasaan Indonesia. para imigran pria VOC yang mungkin tidak pernah mengunjungi tanah kelahiranya bisanya mempertahankan gaya berpakaian dan rambut palsunya. Mereka jarang mandi dan mengganti baju serta bekerja terus hingga sore. namun, pada paruh final kurun ke-19, para pegawai VOC mengenakkan pakian colonial berwarna putih dan keluar kantor jam 2 siang . mereka mengenakkan piyama batik sehabis tidur siang dan makan kuliner Indonesia.

Makara absurd saat ada yang menganggap kehidupan mereka di Indonesia intinya sama dengan kehidupan mereka di Belanda. C.W.Wormser ialah salahsatunya. ia hanya menuliskan mengenai pergaulanya dengan sesame imigran Eropa, keakraban dalam lingkup keluarga yang berkisar antara ibu dan para isteri, serta anggota keluarga yang menjunjung tinggi kerja keras dan selalu berhemat. Sangat gampang untuk mengindahkan catatan semacam ini, yang mengesampingkan eksistensi orang Indonesia. 

Bahkan ia tidak menyebutkan nyai-nyai yang setia atau pengganggu misterius dan selalu mengancam. Pada final kurun ke-19, Wormster mencatat bahwa sebuah keluarga Belanda yang paling sederhan sekalipun mempunyai satu hingga enam pelayan Indonesia yang hidup berdasarkan kebiasaan Indonesia bersama anak dan isterinya. Dengan demikian, seorang Belanda biasnya hidup setidaknya dengan 12 orang Indonesia.

Foto-foto dan catatan yang memperlihatkan imigran Eropa tengah mengenakkan kebaya dan kain sementara para pria mengenakkan celana batik dan jaket tanpa kerah. Mereka berpose untuk sebuah pemotretan dengan para pelayan duduk bersila santai di lantai. Augusta de Wit menulis bahwa sudah menjadi kebiasaan bagi penduduk Indonesia dari kelas rendah untuk berjongkok dengan kedua telapak tangan terkatup saat melewati orang Eropa menyerupai menghormati seorang darah biru Jawa. Bahkan, pegawai colonial Indonesia yang mengecap pendidikan Barat pun harus duduk dilantai saat menawarkan laporan pada pegawai Belanda muda.

Foto-foto dan catatan tersebut menggambarkan bahwa kehidupan social di Batavia. Perubahan budaya ini menyebabkan strata sosialdan kebudayaan yang pernah ditinggal kan oleh VOC mulai luntur karen kehidupan imigran yang menyukai kebudyaan Indies yang lebih baik,ramah, sopan ketimbang budaya Eropa yg membeda-bedakan seseorang berdasarkan ras, budaya, etnis, warna kulit, tinggkat ekonomi, social , budaya dan agama mereka. 

Banyak dari imigran Eropa mengikuti kebudayaan ini dikarenakan juga mereka mempunyai isteri Asia atau Indonesia yang secara tidak eksklusif diimplementasikanya didalam lingkungan keluarga mereka. Yang berafiliasi setiap hari. Anak-anak mereka juga tidak terlepas pengaruhnya dari orang renta mereka yang setengah Asia. Mereka kecil dan dibesarkan di lingkungan social yang budayanya budaya Timur.

Salah satu dari mereka ialah nyonya van Kloppenburg-Versteegh yang mengenakan pakaian khas Indonesia kurun ke -19. Ia juga menulis wacana buku pengobatan herbalindonesia yang banyak dipakai oleh komunitas Eropa, Sejarah Perubahan sosial Budaya di Batavia Abad ke 19. Ini juga menunjukan adanya pertukaran budaya dari budaya elite Eropa ke budaya Indies.

Sejarah Perubahan Sosial Budaya di Batavia Abad ke  Sejarah Perubahan Sosial Budaya di Batavia Abad 19
Gedung Balaikota Awal Abad ke-19/jakarta.go.id

Iklan cetak bisa dipandang sebagai sumber opini yang apa adanya dari anggota komunitas Eropa dan sumber-sumber semacam itu selalu tersedia. Namun, perlu diingat bahwa pada masa itu pemerintah colonial menerapkan sistem sensor yang ketat pada semua bentuk pertanyaan publik maupun pribadi. Di zaman VOC, surat yang dikirim untuk seseorang kenalan di Eropa harus terlebih dahulu lulus investigasi oleh petugas. Beberapa goresan pena menyerupai Oud en Nieww Oost-Indien karya Valentijn mengalami penundaan penerbit. Karya Gubernur Jenderal van Imhoff, Nouvelles, bahkan tidak boleh terbit.

Daftar Pustaka
Buur, Dorothee. 1973-1290. Persoonlijke Documenten Nederlands-Indie/Indonesie (Dokumen Pribadai Hindia-Belanda/Indonesia). Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde

Encyclopedaedie van Nederlandsch-Indie Tt (Ensiklopedi Belanda-Hindia).'s-Gravenhage, Leiden: M. Nijhoff dan E.J Brill. 

Bruggencate, 1963 Nederlands-Engels woordenbook ( Kamus Belanda-Inggris). Ed. Ke-6 Groningen: J.B. Wolters.

Artikel Terkait

Belum ada Komentar untuk "Sejarah Perubahan Sosial Budaya Di Batavia Era 19"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel