Sejarah Pedoman Samin Di Jawa Tengah
Ajaran Samin di Jawa Tengah - "Ajaran Saminisme muncul sebagai tanggapan atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda contohnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, susila istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri."
Pokok pokok pedoman samin di Jawa Tengah yaitu pertama Agama yaitu senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, yang penting yaitu watak dalam hidupnya. Yang kedua, jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan irihati dan jangan suka mengambil milik orang lain. Kemudian yang ketiga bersikap sabar dan jangan sombong.
Pokok pedoman samin yang ke empat yaitu insan harus memahami kehidupannya, alasannya yaitu roh hanya satu dan dibawa abadi selamanya. Dan pokok selanjutnya yaitu kalau orang berbicara, harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati. Orang Samin dihentikan berdagang lantaran terdapat unsur 'ketidakjujuran' didalamnya. Juga tidak boleh mendapatkan proteksi dalam bentuk apapun.
Pokok pedoman samin yang ke empat yaitu insan harus memahami kehidupannya, alasannya yaitu roh hanya satu dan dibawa abadi selamanya. Dan pokok selanjutnya yaitu kalau orang berbicara, harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati. Orang Samin dihentikan berdagang lantaran terdapat unsur 'ketidakjujuran' didalamnya. Juga tidak boleh mendapatkan proteksi dalam bentuk apapun.
Daerah Penyebaran Ajaran Samin
Tersebar pertamakali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada 1890 pergerakan Samin berkembang di dua desa hutan daerah Randublatung, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Gerakan ini lantas dengan cepat menjalar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa hingga ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Atau di sekitar perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur berdasarkan peta sekarang.
Dua tempat penting dalam pergerakan Samin yaitu Desa Klopodhuwur di Blora dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang mempunyai jumlah terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance Castles (1960), orang Samin di Tapelan memeluk saminisme semenjak tahun 1890.
Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (1919) diterangkan, orang Samin seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah Tradisi Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah, (1999), jumlahnya 2.305 keluarga hingga tahun 1917, tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan) dan yang terbanyak di Tapelan.
Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (1919) diterangkan, orang Samin seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah Tradisi Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah, (1999), jumlahnya 2.305 keluarga hingga tahun 1917, tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan) dan yang terbanyak di Tapelan.
Tokoh Perintis Ajaran Samin
Otak intelektual gerakan Saminisme yaitu Raden Surowijoyo. Pengetahuan intelektual Kyai Samin ini di sanggup dari ayahanda, yaitu anak dari pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu daerah distrik pada kabupaten Tulungagung Jawatimur). Lelaki kelahiran tahun 1859 di Ploso ini semenjak dini dijejali dengan pandangan-pandangan viguratif pewayangan yang mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka menyerah (demi kemenangan akhir) dan menyayangi keadilan.
Beranjak dewasa, beliau terpukul melihat realitas yang terjadi, dimana banyaknya nasib rakyat yang sengsara, dimana Belanda pada ketika itu sangat rajin melaksanakan privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Pada ketika itulah, Raden Surowijoyo melaksanakan perampokan pada keluarga kaya dan risikonya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Dia juga menghimpun para brandalan di Rajegwesi dan Kanner yang dikemudian hari menyusahkan pihak Gupermen. Pada ketika itulah, Kyai keturunan aristokrat ini dikenal oleh masyarkat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata "sami-sami amin" yang artinya rakyat sama-sama oke ketika Raden Surawijoyo melaksanakan langkah membrandalkan diri untuk membiayai pembangunan unit masyarakat miskin.
Kyai Samin Surosantiko tidak hanya melaksanakan gerakan garang revolusioner, beliau juga melaksanakan perluasan gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata) dengan cara ceramah dipendopo-pendopo pemerintahan desa. Isi dari ceramah ini yaitu keinginan membangun kerajaan Amartapura. Adapun pesan substantif yang didengung-dengungkan yaitu meliputi; jatmiko (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi musibah dan jatmiko selalu berpegangan akan budi pekerti.
Namun final pergerakan dari Kyai Samin Surosantiko di cekal oleh Belanda dan dibuang di Tanah Lunto pada tahun 1914, yang belum sempat mengaktualisasikan seluruh ide-idenya. Bukan hanya otak pergerakannya, bahkan kitab orang Samin yang ditulisnya juga di sita yang berjudul Serat Jamus Kalimasada, demikian pula dengan kitab-kitab pandom kehidupan orang-orang Samin. Kyai Samin Surosantiko merupakan generasi Samin Anom yang melanjutkan gerakan dari sang Ayah yang disebut sebagai Samin Sepuh. Sehingga masa kepemimpinannya, pedoman Saminisme terbagai dalam dua sekte, yaitu sekte Samin Sepuh dan sekte Samin Anom.
Siklus kepemimpinan ini secara mati-matian berusaha membuat masyarakat yang bersahaja lahir dan batin. Kyai Samin mempunyai sikap puritan, beliau bukanlah petani biasa, namun beliau yaitu cucu dari seorang pangeran. Kyai Samin yaitu orang yang gigih dalam menggoreskan kalam untuk membagun insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang mapan.
Masyarakat Samin mempunyai tiga unsur gerakan Saminisme; pertama, gerakan yang menyerupai organisasi proletariat kuno yang menentang system feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok; dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai ilahi suci. Menurut Kartodirjo, gerakan Samin yaitu sebuah epos usaha rakyat yang berbentuk "kraman brandalan" sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai gerakan ratu adil yang menentang kekuasaan kulit putih.
Ajaran Samin bersumber dari agama Hidhu-Dharma. Beberapa sempalan pedoman Kyai Samin yang ditulis dalam bahasa jawa gres yaitu dalam bentuk puisi tradisional (tembang macapat) dan prosa (gancaran). Secara historis pedoman Samin ini berlatar dari lembah Bengawan Solo (Boyolali dan Surakarta). Ajaran Samin bekerjasama dengan pedoman agama Syiwa-Budha sebagai sinkretisme antara hindhu budha. Namun pada perjalannanya pedoman di atas dipengaruhi oleh pedoman ke-Islaman yang berasal dari pedoman Syeh Siti Jenar yang di bawa oleh muridnya yaitu Ki Ageng Pengging. Sehingga patut di catat bahwa orang Samin merupakan pecahan masyarakat yang berbudaya dan religius.
Daerah persebaran pedoman Samin berdasarkan Sastroatmodjo (2003) diantaranya di Tapelan (bojonegara), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunngsegara (Brebes), Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan). Ajaran di beberapa daerah ini merupakan sebuah gerakan meditasi dan mengerahkan kekuatan batiniah guna menguasai hawa nafsu.
Sebab perlawaan orang Samin bekerjsama merefleksikan kejengkelan penguasa pribumi setempat dalam menjalankan pemerintahan di Randublatung. Tindakan perlawanan ini dalam bentuk gerakan mogok membayar pajak, mengambil pohon kayu di hutan semaunya, bepergian tanpa membayar karcis kereta dan sebagainya. Perbuatan di atas membuat Belanda geram dan meyinggung banyak pihak yang menjadikan pertentangan yang tak kunjung padam dan membara.
Pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya hingga ketika ini masih mengakui bahwa Kyai Samin tidak pernah mati, Kyai Samin hanya mokhsa yang menjadi penghuni kaswargan. Tokoh ini dimitoskan secara fanantik, bahkan pada momentum perayaan upacara rasulan dan mauludan sebagai ajang untuk mengenang kepahlawanan Kyai Samin. Setiap pemuka masyarakat Samin selalu berbegangan homogen primbon (kepek) yang mengatur kehidupan luas, kebijaksanaan, petunjuk dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi, remaja, cukup umur dan antarwarga Samin .
Bahasa yang dipakai oleh orang Samin yaitu bahasa kawi yang ditambah dengan dialek setempat, yaitu bahasa kawi desa kasar. Orang Samin mempunyai kepribadian yang polos dan jujur hal ini sanggup dilihat setiap ada tamu yang datang, orang Samin selalu menyuguhkan masakan yang dimilikidan tidak pernah minyimpan masakan yang dimilikinya. Pengatahuan orang Samin terhadap rites perkimpoian yaitu unik, mereka menganggap bahwa dengan melalui rites perkimpoian, mereka sanggup berguru ilmu kasunyatan (kajian realistis) yang selalu menekankan pada dalih kemanusiaan, rasa sosial dan kekeluargaan dan tanggung jawab sosial. Orang Samin percaya dalam menuju kemajuan harus dilalui dengan marangkak lambat. Hal ini sanggup dilihat dengan sikap menolak mesin menyerupai traktor, huller dan lain-lain. Pakaian yang dipakai orang Samin yaitu kain dengan dominasi warna hitam dengan materi yang terbuat dari kain kasar.
Suku Samin juga mengalami perkembangan dalam hal kepercayaan dan tata cara hidup. Kawasan daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan Samin yang disebut Samin Jaba dan Samin Anyar yang telah meninggalkan tatacara hidup Samin dahulu. Selain itu, di Klapa Duwur (Blora) Purwosari (Cepu), dan Mentora (Tuban) dikenal wong sikep, mereka ini dulunya fanatik, tapi kini meninggalkan kode dasar dan menentukan agama formal, yakni Budha-Dharma.
Beberapa pikiran orang Samin diantaranya; menguasai adanya kekuasaan tertinggi (sang Hyang Adi budha), ramah dan belas kasih terhadap sesama mahluk, tidak terikat kepada barang-barang dunia-kegembiraan-dan kesejahteraan, serta memelihara keseimbangan batin dikalangan antar warga. Orang Samin dengan terperinci mencita-citakan membangun negara orisinil pribumi, yang bebas dari campur tangan orang kulit putih, tiada dominasi barat satupun. Ajaran politik yang dikenakan pada suku Samin yaitu cinta dan setia kepada amanat leluhur, kearifan tua, cinta dan hormat akan pemerintahan yang dianggap sebagai orang renta dan sesepuh rohani, hormat dan setia pada dunia intelektual.Dengan suguhan goresan pena ini, diperlukan wawasan dan pengetahuan saya dan pembaca semuanya lebih terbuka serta kemudian bisa bersikap bijak dan berilmu dalam memandang sebuah reailtas yang ada.
Pergerakan Orang Samin
Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan pergerakan Samin. Wongsorejo, salah satu pengikut Samin membuatkan ajarannya didistrik Jawa, Madiun. Di sini orang-orang Desa dihasut untuk tidak membayar Pajak kepada Pemerintah Kolonial. Akan tetapi Wongsorejo dengan baberapa pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.
Tahun 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya membuatkan pedoman Samin di daerah Grobogan, sedangkan Karsiyah membuatkan pedoman Samin ke Kajen, Pati.
Tahun 1912, pengikut Samin mencoba membuatkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, tetapi mengalami kegagalan.
Tahun 1914, merupakan puncak Geger Samin. Hal ini disebabkan lantaran Pemerintah Kolonial belanda menaikkan Pajak, bahkan di daerah Purwodadi orang-orang Samin sudah tidak lagi menghormati Pamong Desa dan Polisi, demikian juga di Distrik Balerejo, Madiun. Di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga menyerang abdnegara desa dan Polisi Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu dengan tidak mau membayar pajak.
Tahun 1930, perlawanan Samin terhadap pemerintah Kolonial terhenti, hal ini disebabkan lantaran tidak ada figur pimpinan yang tanggguh Dalam naskah goresan pena tangan yang diketemukan di Desa Tapelan yang berjudul Serat Punjer Kawitan, disebut-sebut juga kaitan Samin Surosentiko dengan Adipati Sumoroto. Dari data yang ditemukan dalam Serat Punjer Kawitan sanggup disimpulkan bahwa Samin Surosentiko yang waktu kecilnya berjulukan Raden Kohar , yaitu seorang Pangeran atau Bangsawan yang menyamar dikalangan rakyat pedesaan. Dia ingin menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan Pemerintah Kolonial Belanda dengan cara lain.
Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin
http://wongalus.wordpress.com/tag/ajaran-samin/
http://bpn16.wordpress.com/2010/09/12/ajaran-samin-di-jawa-tengah/
http://www.blorakab.go.id/03_samin.php
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Pedoman Samin Di Jawa Tengah"
Posting Komentar